Abstrak
Penelitian
bermaksud untuk mengetahui apakah hukum internasional merupakan suatu hukum
yang sesungguhnya.Mengapa masyarakat internasional mau mentaati hukum
internasional meskipun hukum internasional sangat kekurangan akan
institusi-institusi formal yang bertugas menegakkan hukum. Penelitian ini
merupakan penelitian hukum normatif, jenis data yang digunakan adalah data
sekunder dengan dengan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian.
Melalui hasil pemelitian ini dapat disimpulkna bahwa, Sifat hubungan yang
koordinatif dalam masyarakat internasional, tidak adanya badan supranasional
yang memiliki kewenangan membuat sekaligus memaksakan berlakunya suatu aturan
hukum internasional kepada anggota masyarakat bangsa-bangsa yang melanggar
hukum internasional tidak mengurangi eksistensi dan hakekat hukum internasional
sebagai suatu norma hukum. Faktor paling utama yang memunculkan penerimaan dan
ketaatan masyarakat internasional pada aturan hukum internasional adalah adanya
kesadaran dan kebutuhan bersama akan aturan hukum yang bisa memberikan
ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum mana yang boleh dilakukan dan mana
yang tidak boleh dilakukan dalam praktek hubungan internasional. Ketaatan yang
munculnya secara internal ini hasilnya akan jauh lebih baik daripada ketaatan
yang dipicu hanya oleh ketakuatan akan datangnya sanksi.
Kata kunci: Ketaatan, hukum internasional,
filsafat hukum406 JURNAL HUKUM
Pendahuluan
Tidak
sebagaimana sistem hukum nasional yang memiliki lembaga-lembaga formal seperti
badan legislatif, polisi, jaksa, kepala-kepala pemerintahan baik di pusat
maupun daerah (eksekutif) serta pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib
kepada penduduknya, sistem hukum internasional tidak memiliki semuanya itu.
Hukum
internasional tidak memiliki badan legislatif pembuat aturan hukum, tidak
memiliki polisi, jaksa, kepala pemerintahan sebagai eksekutif bahkan juga tidak
memiliki pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib terhadap negara yang
melakukan pelanggaran hukum internasional. Hukum internasional sangatlah
kekurangan institusi-institusi formal, demikian menurut Martin Dixon.
1.
Dengan demikian tidaklah mengherankan karenanya bila banyak pihak yang
meragukan eksistensi hukum internasional. Hukum internasional dikatakan bukan
sebagai hokum sesungguhnya. Menurut John Austin sebagaimana dikutip oleh
Scwarzenberger, hukum internasional hanya layak untuk dikategorikan sebagai
positive morality saja karena tidak memiliki badan legislatif dan sanksinya
tidak bisa dipaksakan.
2.
Banyak pihak mengamini pendapat ini apalagi realitas menunjukkan banyaknya
pelanggaran hukum internasional dilakukan seperti oleh Amerika Serikat, juga
Israel tidak pernah ada sanksi. Apakah hukum internasional itu merupakan hukum
yang sesungguhnya? Bagaimana hukum ini bekerja, mengapa masyarakat
internasional mau mentaatinya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sangat
menarik untuk diteliti dan dianalisis secara mendalam melalui filsafat hukum.
Dengan menganalisa semua itu dari perspektif filsafat hukum maka diharapkan
akan diperoleh pemahaman seluasluasnya juga sedalam-dalamnya, seakar-akarnya
tentang hukum internasional.
Beberapa
manfaat menganalisa melalui filsafat hukum antara lain:
1.
Dapat membawa para ahli hukum melihat jauh ke depan. Lebih menyadarkan para
ahli hukum dalam kebijaksanaan hukumnya, mereka akan selalu menyesuaikan
kebijaksanaan itu dengan keperluan-keperluan social yang aktual, dan
menghindarkan sebanyak mungkin pemujaan terhadap hal-hal yang silam.
2.
Membawa para ahli hukum dari cara berfikir hukum secara formal ke realitas
sosial. Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam menerapkan hukum perjanjian para
ahli hukum juga memerlukan pengetahuan-pengetahan lain di bidnag ekonomi,
kriminalogi, pidana, perikatan, sosiologi dan lain sebagainya.
3.
Dapat menyatukan atau menyarankan penggunaan konsep-konsep dasar yang sama guna
mendasari berbagai faktor sosial dan membuka jalan bagi penyelesaian beraneka
ragam masalah soaial dengan hanya menggunakan satu teknik. Dengan demikian
kompleksitas hukum dapat lebih dikendalikan dan lebih rasional, dimana teori
dapat membantu dalam ptaktek.
4.
Dengan penalaran konsep-konsep hukum akan mempertajam teknik yang dimiliki para
ahli hukum itu sendiri.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
paparan di atas maka permasalahan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah
Pertama, apakah hukum internasional merupakan suatu hokum yang sesungguhnya?
Kedua, mengapa masyarakat internasional mau mentaati hokum internasional
meskipun hukum internasional sangat kekurangan akan institusiinstitusi formal
yang bertugas menegakkan hukum?
Tujuan
Penelitian
Untuk
memahami dan menganalisis hakekat hukum internasional serta memahami mengapa
masyarakat internasional mau mentaati hukum internasional meskipun hukum
internasional sangat kekurangan akan institusi-institusi formal yang bertugas
menegakkan hukum.
Metode
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian hukum normatif, jenis data yang digunakan adalah data
sekunder dengan dengan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian,
tulisan dan pendapat para pakar hukum internasional. Pengakuan, penerimaan dan
praktek masyarakat internasional memperlakukan hokum internasional dalam sistem
hukum nasional maupun dalam hubungan internasional.
Hasil
Penelitian dan Pembahasan Hakekat Hukum Internasional
Menurut
Austin
Hukum
internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya karena untuk dikatakan
sebagai hukum menurut Austin harus memenuhi dua unsure yaitu ada badan
legislatif pembentuk aturan serta bahwa aturan tersebut dapat dipaksakan.
Austin tidak menemukan kedua unsure ini dalam diri hokum internasional
sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum internasional belum dapat dikatakan
sebagai hukum, baru sekedar positif morality saja. Mencermati pendapat Austin
nampak bahwa Austin melihat hukum dari kacamata yang sangat sempit.
Menurut
Austin hukum identik dengan undang-undang, perintah dari penguasa (badan
legislatif). Dalam analisis modern pendapat Austin ini tidak tepat lagi sebab
akan menghilangkan fungsi pengadilan sebagai salah satu badan pembentuk hukum.
Di samping itu Austin juga mengabaikan bila dalam masyarakat ada hukum yang
hidup, yang keberadaannya tidak ditentukan oleh adanya badan yang berwenang
(badan legislatif) atau penguasa seperti hukum adat atau hukum kebiasaan.
Berbeda
pendapat dengan Austin, Oppenheim pakar hukum yang lain mengemukakan
bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya (really law).
Ada tiga
syarat yang harus
dipenuhi untuk dikatakan sebagai hukum menurut Oppenheim. Ketiga syarat yang
dimaksud adalah adanya aturan hukum, adanya masyarakat, serta adanya jaminan
pelaksanaan dari luar (external power) atas aturan tersebut.
Syarat
pertama dapat
dengan mudah ditemukan yaitu dengan banyaknya aturan hukum internasional dalam
kehidupan kita sehari-hari, seperti Konvensi Hukum Laut PBB 1982 , Perjanjian
internaional tentang bulan dan benda-benda langit lainnya (Space Treaty 1967),
Konvensi mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, berbagai konvensi
internasional tentang HAM, tentang perdagangan internasional, tentang
lingkungan internasional, tentang perang, dan lain-lain. Dapat dikatakan sulit
kita menemukan aspek kehidupan yang belum diatur oleh Hukum internasional.
Syarat kedua adanya masyarakat internasional
juga terpenuhi menurut Oppenheim. Masyarakat internasional tersebut
adalah negara-negara dalam lingkup bilateral, trilateral, regional maupun
universal.
Adapun
syarat ketiga adanya jaminan
pelaksanaan juga terpenuhi menurut Oppenheim. Jaminan pelaksanaan dapat berupa
sanksi yang datang dari negara lain, organisasi internasional ataupun
pengadilan internasional. Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan permintaan
maaf (satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary), serta pemulihan
keadaan pada kondisi semula (repartition). Disamping itu ada pula sanksi yang
wujudnya kekerasan seperti pemutusan hubungan diplomatik, embargo, pembalasan,
sampai ke perang .
Meskipun
menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya
sekedar moral, Oppenheim mengakui bahwa hokum internasional adalah hukum yang
lemah (weak law). Hukum internasional lemah dalam hal penegakan hukumnya bukan
validitasnya. Hukum internasional terkadang sangat primitif dan tebang pilih.
Hukum
dan sanksi hanya dikenakan
Terhadap
negara-negara kecil yang tidak atau kurang memiliki power juga pengaruh di
lingkugan masyarakat internasional. Ketika Irak menginvasi Kuwait 1990-1991
hukum internasional sangatlah keras terhadapnya. Masyarakat internasional
menyatakan bahwa tindakan tersebut unlawful bukan immoral atau unacceptable
Berbagai sanksi dijatuhkan pada Irak, bahkan penjatuhan sanksi itu justru yang
melanggar hukum internasional karena tidak ada kejelasan sampai kapan sanksi
akan berlangsung. Lebih dari itu sanksi sangat mencampuri urusan dalam negeri
Irak dan mencabut hak-hak Irak untuk mengembangkan diri. Demikian halnya dengan
Iran, meskipun belum ada bukti bahwa Iran mengembangkan senjata pemusnah masal
dan menurut Iran apa yang dilakukkannya hanya untuk tujuan damai dan
pengembangan ilmu pengetahuan tapi berbagai macam sanksi sudah diterapkan
tehadap Iran. Senada dengan Oppenheim, para pakar hukum int e
rnas ional mode rn menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang
sesungguhnya bukan hanya sekedar moral.Mayoritas masyarakat internasional
mengakui adanya aturan hukum yang mengikat mereka.
Perjanjian
Internasional No. 24 Tahun 2000 banyak mengadopsi Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum Perjanjian, UU Nomor 39 Tahun 1999 banyak mengadopsi Konvensi Wina 1961
mengenai Hubungan Diplomatik.
Masalah
penegakan
Hukum yang
lemah harus dipisahkan dengan masalah eksistensi HI itu sendiri. Eksistensi HI
tidak tergantung pada banyak sedikitnya pelanggaran, ada tidaknya
lembaga-lembaga tertentu juga ada tidaknya sanksi, tetapi lebih ditentukan oleh
sikap pelaku hukum dalam masyarakat internasional itu sendiri.
Dasar
Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
Sebagaimana
dikemukakan di atas dalam Hukum Internasional tidak ada badan supranasional
yang memiliki otoritas membuat dan memaksakan suatu aturan internasional, tidak
ada aparat penegak hukum yang berwenang menindak langsung negara yang melanggar
hukum internasional, serta hubungannya dilandasi hubungan yang koordinatif
bukan sub-ordinatif. Namun demikian ternyata di dalam prakt ik
masyarakat internasional mau menerima HI
sebagai hukum yang sesungguhnya bukan hanya sebagai moral positif saja.
Hakikat hukum internasional adalah sebagai hukum yang sesungguhnya. Jumlah
pelanggaran yang terjadi jauh lebih kecil daripada ketaatan yang ada. Hal ini
tentu menimbulkan pertanyaan lebih lanjut apa yang menjadikan masyarakat
internasional mau menerima HI sebagai hukum? Dari mana HI memperoleh dasar
kekuatan mengikat?
Hukum
internasional (jus gentium) dipandang sebagai bagian dari hukum alam, datangnya
dari Tuhan sehingga berlaku untuk seluruh manusia. Hukum Internasional mengikat
karena hukum ini merupakan bagian dari hukum alam yang diterapkan pada
masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa negara-negara
mau terikat pada HI karena hubungan-hubungan mereka diatur oleh hukum yang
lebih tinggi yaitu hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang datang dari alam
dan diturunkan pada manusia lewat ratio atau akalnya. Gaius, pakar di era
Romawi kuno menyebutkan jus gentium sebagai law :commom to all men’. Dengan
demikian hukum internasional bersifat universal. Hal senada dikemukakan oleh
Sudjito bahwa dasar dari hukum ini adalah alam. Inti alam terletak pada akal.
Akal tertinggi ada pada Tuhan, bersifat abadi dan universal. Ketaatan
masyarakat internasional pada
Hukum
menurut aliran ini tidak diciptakan melainkan ditemukan di alam. Apa yang
dikemukakan aliran ini ternyata belum dirasa memuaskan karena sangat abstrak
dan belum menjawab inti pertanyaan mengapa masyarakat internasional mau terikat
pada HI. Meskipun demikian aliran ini banyak memberikan sumbangan pada
perkembangan HI terutama pada nilai-nilai keadilan (justice).
Sebagaimanan
dikemukakan aliran hukum positif, dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kehendak
negara. Meskipun lebih konkrit dibandingkan apa yang dikemukakan aliran hukum
alam namun apa yang dikemukakan aliran inipun memiliki kelemahan yakni bahwa
tidak semua HI memperoleh kekuatan mengikat karena kehendak negara. Banyak
sekali aturan HI yang berstatus hukum kebiasaan internasional ataupun prinsip
hukum umum yang sudah ada sebelum lahirnya suatu negara. Tanpa pernah
memberikan pernyataan kehendaknya setuju atau tidak setuju terhadap aturan
tersebut, negara-negara yang baru lahir tersebut akan terikat pada aturan
internasional itu.
Pasca perang
dunia pemikiran ketaatan pada HI semakin berkembang. James Brierly ahli hukum
internasional menyatakan mengapa negara taat pada HI adalah untuk menjaga
reputasi masing-masing di tingkat internasional serta tumbuhnya solidaritas
untuk terciptanya ketertiban dan perdamaian dunia.
Pasca perang
dunia kedua organisasi internasional tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan.
Keberadaan mereka sedikit banyak mempengaruhi ketaatan negara pada Hukum
Internasional. Dalam pandangan Brierly ketaatan itu karena solidaritas dan
legitimasi yang lahir dari organisasi internasional.
Menurut
aliran sosiologis, masyarakat bangsa-bangsa selaku makhluk social selalu
membutuhkan interaksi satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Betapapun majunya suatu negara tidak akan dapat hidup sendiri. Dalam
berinteraksi tersebut masyarakat internasional membutuhkan aturan hukum untuk
member kepastian hukum pada apa yang mereka lakukan. Pada akhirnya dari aturan
tersebut masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan,
keadilan, dan kedamaian. Demikianlah menurut aliran ini dasar kekuatan
mengikatnya HI adalah kepentingan dan kebutuhan bersama akan ketertiban dan
kepastian hukum dalam melaksanakan hubungan internasional. Kebutuhan ini
menjadikan masyarakat internasional mau tunduk dan mengikatkan diri pada HI.
Faktor kebutuhan lebih penting daripada faktor ada tidaknya aparat penegak
hukum, ada tidaknya lembagalembaga formal serta ada tidaknya sanksi.
Ketaatan
yang bersifat compliance, yaitu:
Jika subyek
hukum menaati suatu aturan, hanya karena takut akan sanksi. Kelemahan jenis
ketaatan ini adalah diperlukannya pengawasan secara ketat dan terus-menerus
Ketaatan
yang bersifat identification, yaitu:
Jika
subyek hukum menaatai suatu aturan karena kekhawatiran hubungan baiknya dengan
pihak lain akan rusak atau terganggu jika ia tidak menaati aturan tersebut.
Ketaatan
yang bersifat internalization, yaitu:
Jika
subyek hukum menaati sutu aturan benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu
sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Di dalam praktek subyek
hukum menaati aturan bisa hanya karena salah satu alasan saja, akan tetapi bisa
terjadi ketaataan itu meliputi ketiga macam yang tersebut di atas. Jadi subyek
hukum menaati aturan tidak hanya takut akan sanksi tapi juga takut hubungan
baiknya dengan pihak lain akan terganggu sekaligus memang kesadaran bahwa
subyek hukum membutuhkan aturan itu dan cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang
dianutnya. Menilai ketaatan subyek hukum terhadap suatu aturan hukum tentu
tidak cukup hanya melihat dari sisi jumlah yang mentaati tetapi untuk lebih
menekankan pada kualitas keefektifan perlu dilihat alas an ketaatan tersebut.
Ketaatan yang bersifat compliance kualitasnya lebih rendah dibandingkan
dengan yang bersifat identification, terlebih lagi bila dibandingkan dengan
yang bersifat internalization.
Ada 4 faktor
yang menentukan apakah negara akan taat pada hukum internasional atau tidak.
Ke-4 faktor tersebut adalah determinacy, symbolic validation, coherence dan
adherence. Franck menyatakan 4 faktor tersebut akan menekan negara untuk taat
pada hukum internasional. Namun demikian, Franck dengan teori legitimasinya tidak
mampu memberi jawaban memuaskan mengapa negara harus memperdulikan legitimasi.
Sebagai contoh dikemukakan ketika negara melanggar aturan hokum internasional
dengan alasan aturan tersebut kurang legitimasinya maka pertanyaan yang dapat
diajukan adalah mengapa negara harus menghormati aturan yang dikatakan ada
legitimasinya sebaliknya mengabaikan yang lain?
Kelemahan
Hukum Internasional
Sebagaimana
dipaparkan di atas HI diakui oleh masyarakat internasional sebagai hukum yang
sebenarnya dan dipatuhi sebagaimana layaknya suatu aturan hukum karena
faktor-faktor berikut:
a) Kebutuhan dan kepentingan bersama
akan jaminan kepastian hukum dan ketertiban dalam melakukan hubungan
internasional
b) Biaya-biaya politik dan ekonomi
yang harus dibayar jika melanggar HI, seperti hilangnya kepercayaan dari pihak
asing, dihapuskannya berbagai bantuan dan fasilitas dari pihak asing,
dikucilkan dari pergaulan internasional, dicabut keanggotaannya dari suatu
organisasi internasional
c) Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh
negara lain, organisasi internasional dan pengadilan
d) Faktor psikologis takut dikecam
atau dikutuk oleh pihak lain (pschological force) jika melanggar HI.
Meskipun HI bisa bekerja namun demikian ada beberapa faktor yang
menjadikan HI sebagai hukum yang lemah.
Beberapa
faktor dimaksud adalah:
-
Kurangnya institusi-institusi formal penegak hukum: a. tidaknya polisi yang
senantiasa mengawasi dan menindak pelanggar HI
-
Meskipun ada jaksa dan hakim di pengadilan internasional namun mereka
tidak memiliki otoritas memaksa Negara pelanggar secara langsung sebagaimana
yang umumnya terjadi di pengadilan nasional
- Tidak
adanya pengadilan internasional yang memiliki yurisdiksi wajib
Penutup
Berdasarkan
kajian di atas, dapat disimpulkan, Pertama, hukum internasional merupakan hukum
yang sesungguhnya, hukum yang hidup dan berlaku ditengahtengah masyarakat
internasional. Kedua, faktor paling utama yang memunculkan ketaatan masyarakat
internasional pada aturan hukum internasional adalah adanya kesadaran dan
kebutuhan bersama akan aturan hukum yang bisa memberikan ketertiban, keadilan,
dan kepastian hukum mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh
dilakukan dalam praktek hubungan internasional. Ketaatan yang munculnya secara
internal ini hasilnya akan jauh lebih baik daripada ketaatan yang dipicu hanya
oleh ketakutan akan datangnya sanksi. Ketiga, meskipun demikian disadari dan
diakui pula bahwa faktor-faktor seperti takut akan sanksi, faktor psikologis,
juga takut kehilangan berbagai keuntungan dalam hubungan internasional, rasa
solidaritas dan legitimasi juga cukup berpengaruh pada ketaatan tersebut.
Daftar
Pustaka
Ali, Ahmad,
Menguak Teori Hukum (legal theory ) dan Teori Peradilan (judicial prudence)
termasuk
interpretasi undang-undang (legisprudence), Vol I, Pemahaman Awal,
Prenadamedia
Group, 2009.
Burgstaller,
Markus, Theories of Compliance with International Law: Developments in
International
Law, Volume 52, Martinus Nijhoff Publishers and VSP, 2005.
Carty,
Anthony, Philosophy of International Law, Edinburgh University Press, 2007.
Chayes,
Abram and Antonia Handler Chayes, The New Sovereignty: Compliance with
International
Regulatory Agreements, Cambridge, Harvard, University Press,
1995.
Dixon,
Martin, Texbook on International Law, Blackstone Press Limited, fourth edition,
2001.
Fitzmaurice,
Gerald, The Foundations of the Authority of International Law and the Problem
of
Enforcement, 19 Mod. L. Rev. 1, 1956.Sefriani. Ketaatan Masyarakat... 427
Hongju Koh,
Harold, “Why do Nations Obey International Law” , Yale Law Journal ,
106 Yale
L.J. 2599, 1997.
Istanto,
Sugeng, Hukum Internasional, Penerbitan Atma Jaya Yogyakarta, Cetakan
kedua, 1998.
Juwana,
Hikmahanto, Hukum Internasional Dalam Perspektif Negara Berkembang,
Penataran
Singkat pengembangan bahan Ajar Hukum Internasional, Bagian
Hukum
Internaisonal FH Undip, Semarang, 6-8 Juni 2006.
Kusumaatmadja,
Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bagian I, Bina Cipta,
Bandung,
1982.
M Franck,
Thomas, Fairness in International Law and Institutions, Oxford, Clarendon
Press, 1995.
Parthiana,
Wayan, Pengantar Hukum Internasional , Mandar Maju, Bandung, 1990.
Purwanto,
Harry, “Kajian Filosofis terhadap Eksistensi Hukum Internasional”, dalam
Mimbar Hukum
, Majalah FH UGM , No 44/VI/2003.
Rasjidi,
Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju , Bandung,
Cetakan
ke-3, 2002.
Scwarzenberger,
International Law and Order, Martinus Nijhoff Publishers, Haque/
Boston/London,
1994.
T. Guzman,
Andrew,”A Compliance-Based Theory of International Law “, California Law
Review , 90
Cal. L.Rev.1823, 2002.
______, How
International Law Works a Rational Choice Theory, Oxford University Press,
2008.
Sumber: